Penulis : Hasyim A |
Pasuruan, pelitaprabu.com |
Keputusan mengejutkan datang dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pasuruan. Sebanyak 686 tenaga honorer di lingkungan pendidikan diberhentikan dengan hormat pada tahun 2025. Kebijakan ini memicu polemik, terutama dari aktivis pendidikan yang menilai langkah tersebut bisa berdampak buruk pada dunia pendidikan.
Menindaklanjuti keputusan tersebut, LSM Gerakan Pemuda Peduli Pengamat Hukum (GP3H), pemerhati pendidikan, serta PGRI Kabupaten Pasuruan menggelar audiensi dengan Komisi 4 dan Komisi 1 DPRD Pasuruan. Audiensi yang turut dihadiri oleh perwakilan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta BKPSDM ini berlangsung pada Senin (24/3/2025) di Gedung DPRD Kabupaten Pasuruan.
Ketua Komisi 4 DPRD, Andri Wahyudi, meminta Anjar Supriyanto selaku koordinator audiensi untuk memaparkan poin utama terkait surat pemberhentian yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan. Politisi PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa pembahasan harus dilakukan secara terbuka demi mencari solusi terbaik.
Dalam audiensi, Anjar Supriyanto LSM GP3H menyoroti keputusan tersebut dan meminta Pemerintah Kabupaten Pasuruan untuk meninjau ulang kebijakan ini. “Kami melihat ada kekeliruan dalam keputusan ini. Mengingat Kabupaten Pasuruan masih kekurangan ribuan tenaga pendidik, seharusnya kebijakan ini dikaji ulang agar tidak berdampak buruk pada proses belajar-mengajar,”ujar Anjar.
GP3H menyoroti regulasi yang mengatur pendidikan, termasuk Pasal 31 UUD 1945 yang menegaskan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan, serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan peran serta masyarakat dalam pengelolaan pendidikan.
Anjar juga mengingatkan bahwa dampak dari pemberhentian ini akan sangat luas, terutama bagi sekolah-sekolah dasar dan menengah pertama. “Banyak sekolah akan mengalami kekosongan tenaga pendidik. Bahkan, operasional pendidikan bisa terganggu karena banyaknya tenaga operator yang juga terdampak,”lanjutnya.
Keputusan ini disebut sebagai bagian dari efisiensi anggaran pemerintah daerah dan upaya penataan tenaga honorer sesuai dengan UU ASN Nomor 20 Tahun 2023.
Namun, GP3H menilai kebijakan ini tidak mempertimbangkan realitas di lapangan sehingga bertentangan dengan pasal 67 UU ASN Nomor 20 Tahun 2023 itu sendiri, mengabaikan Undang-Undang system Pendidikan nasional bahwa masyarakat juga memiliki kewajiban peduli dengan Pendidikan dan Permendikbud nomor 63 tahun 2022.
“Jika tenaga honorer dihapus, siapa yang akan mengisi kekosongan guru di sekolah? Banyak dari mereka bekerja atas keputusan kepala sekolah dan komite sekolah tanpa menerima honor dari pemerintah daerah” Tegasnya
“Sehingga dapat disimpulkan bahwa 686 orang bukan tenaga honorer melainkan masyarakat yang peduli Pendidikan atas ketidak mampuan Pemerintah Kabupaten Pasuruan dalam mengatasi masalah Pendidikan di daerahnya sebab mereka tidak digaji/diberi honor oleh Pemerintah Kabupaten Pasuruan” tegas Anjar.
Anjar mendesak agar keputusan ini dicabut atau setidaknya direvisi. Mereka mengusulkan agar pengelolaan tenaga kependidikan yang selama ini ada yaitu 686 orang diserahkan kepada pihak sekolah dan komite pendidikan sesuai regulasi yang berlaku.
“Jika pemerintah daerah tidak mampu memenuhi kebutuhan tenaga pendidik, serahkan saja kepada pengelola pendidikan sesuai aturan yang ada. Jangan sampai kebijakan ini justru merugikan dunia pendidikan dan menciptakan kegaduhan di sekolah” Tegasnya
Anjar menyampaikan mereka itu tidak berstatus tenaga honorer mereka itu membantu kekurangan guru 900 dan tenaga kependidikan 1300 yang kosong, harusnya mereka diberi penghargaan bukan malah diberhentikan yang jelas-jelas mereka tidak memiliki hubungan hukum dengan pemerintah kabupaten pasuruan.
Anjar mengatakan SK yang berpolemik itu maknanya mengatur tentang PPPK dan CASN, bukan mengatur tentang kekosongan/kekurangan tenaga kependidikan yang berjumlah 2200 orang. GP3H akan melakukan upaya apapun untuk mengembalikan 686 tenaga pendidik yang diberhentikan dengan cara Salah Penerapan hukum” pungkasnya.
Ahmad Maulana, anggota Dewan Pendidikan, mengakui bahwa kebijakan ini memang sesuai dengan aturan lebih tinggi, yakni edaran dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) terkait larangan pengangkatan tenaga honorer. Namun, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan keberlanjutan pendidikan.
Sementara itu, Tri Agus mengungkapkan bahwa dari 686 tenaga non-ASN yang terdampak, 321 di antaranya adalah guru, sedangkan sisanya adalah tenaga kependidikan 357, seperti operator sekolah dan tenaga kebersihan. Ia menambahkan bahwa tanpa kebijakan penertiban, rekrutmen tenaga honorer oleh kepala sekolah bisa terus terjadi tanpa koordinasi dengan Dinas Pendidikan.
Audiensi ini belum menghasilkan kesepakatan final, dan pembahasan akan berlanjut untuk mencari solusi terbaik.
Kini, keputusan ada di tangan Pemerintah Kabupaten Pasuruan. Apakah mereka akan tetap menjalankan kebijakan ini atau mempertimbangkan aspirasi masyarakat?.***