Berita  

Anak Desa dan Perantau Terpinggirkan, LSM GP3H Serukan Evaluasi SPMB Jawa Timur

banner 120x600

Penulis : Hasyim Asy’ari|

Pasuruan, pelitaprabu com |

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Jawa Timur tahun 2025 kembali menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan. Salah satu kritik paling keras disampaikan oleh Anjar Supriyanto, SH, Ketua Umum LSM Gerakan Pemuda Peduli Pengamat Hukum (GP3H) . Menurutnya, sistem seleksi yang diklaim transparan dan objektif itu justru menyisakan berbagai persoalan serius yang merugikan kelompok masyarakat marginal, perantau, serta siswa dari keluarga kurang mampu.

Anjar menyoroti adanya ketidakmerataan informasi yang sangat mencolok. Banyak siswa dari wilayah pinggiran dan desa-desa di Jawa Timur tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang tata cara pendaftaran, teknis ujian, hingga jalur afirmatif yang seharusnya membantu mereka.

“Bagaimana mereka bisa bersaing jika informasi saja tidak sampai ke mereka?” ujar Anjar.

Ia juga menyoroti kesenjangan digital yang memperparah keadaan. Minimnya akses internet di pelosok desa membuat siswa kesulitan mendaftar secara daring maupun mengikuti perkembangan informasi seleksi.

Masalah besar lainnya adalah ketidakadilan dalam sistem zonasi. Banyak anak dari keluarga perantau yang tinggal dan besar di kota-kota seperti Surabaya, Sidoarjo, Gresik, atau Pasuruan—namun tidak memiliki dokumen kependudukan setempat karena kendala administratif.

“Mereka ini anak-anak yang besar di kota, tapi tidak dianggap warga setempat. Ketika ikut seleksi di kampung asal juga sulit karena mereka tidak tumbuh dan belajar di sana. Akhirnya mereka seperti anak tanpa daerah,” tegas Anjar.

SPMB Jatim 2025 juga dinilai terlalu menitikberatkan pada nilai akademik, tanpa mempertimbangkan ketimpangan fasilitas antar sekolah. “Sekolah unggulan di kota punya laboratorium lengkap, guru berkualitas, internet cepat—sementara sekolah desa? Jauh tertinggal,” tambahnya.

Ditambah lagi, biaya pendaftaran, pengurusan dokumen, transportasi, hingga akomodasi menjadi beban berat bagi keluarga miskin, meskipun sistem menyebutnya sebagai biaya “terjangkau”.

Menurut data dan aduan yang diterima GP3H, jalur afirmasi seperti untuk anak buruh, nelayan, siswa miskin, atau penyandang disabilitas sangat minim peminat bukan karena tidak dibutuhkan, tapi karena sulit diakses. Proses administrasi yang rumit dan minimnya pendampingan menjadi penghalang utama.

“SPMB Jatim 2025 ini terlihat adil di atas kertas, tapi gagal mewujudkan keadilan substantif di lapangan. Prinsip keadilan sosial dalam Pasal 28H dan 31 UUD 1945 belum tercapai,” tegas Anjar.

Ia menyebut masih adanya diskriminasi berbasis wilayah geografis, status kependudukan, dan kemampuan ekonomi. Menurutnya, ini menunjukkan bahwa sistem belum inklusif dan hanya menguntungkan kelompok dengan modal sosial dan administrasi yang kuat.

LSM GP3H memberikan sejumlah rekomendasi konkret:

1. Revisi sistem zonasi, mempertimbangkan domisili aktual, bukan hanya berdasarkan KTP/KK.
2. Penyederhanaan jalur afirmatif, serta pendampingan teknis pengurusan surat keterangan miskin.
3. Jalur khusus untuk anak perantau, dengan bukti domisili RT/RW minimal dua tahun.
4. Digitalisasi seleksi dengan pendampingan tatap muka di desa.
5. Pemerataan informasi dan sosialisasi seleksi hingga ke pelosok, bukan hanya di kota dan sekolah favorit.

Anjar Supriyanto menegaskan, “Jika negara serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, maka seleksi pendidikan harus adil bagi semua. Tidak boleh ada anak Indonesia yang tertinggal hanya karena mereka miskin atau tinggal di desa.”

Artikel ini menjadi panggilan untuk evaluasi mendalam terhadap sistem SPMB Jawa Timur dan perlunya keberpihakan nyata terhadap kelompok rentan dalam dunia pendidikan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *