Berita  

OPINI : Menjadi Guru di Era Digital, Antara Tantangan dan Peluang

banner 120x600

Penulis : Ade Nasution |

Labuhanbatu Utara : pelitaprabu.com |

Perubahan zaman menuntut semua lini kehidupan beradaptasi, termasuk dunia pendidikan. Transformasi ini sangat terasa dengan hadirnya teknologi digital yang mengubah cara belajar, cara mengakses informasi, hingga cara berinteraksi dalam proses pembelajaran. Platform seperti Google Classroom, Zoom, Microsoft Teams, dan Learning Management System (LMS) kini menjadi bagian dari keseharian guru dan siswa.

Di tengah derasnya arus digitalisasi, guru tak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu. Dengan satu klik, siswa dapat mengakses ribuan video pembelajaran di YouTube, mengikuti kursus daring di platform seperti Coursera dan Ruangguru, atau membaca referensi ilmiah melalui Google Scholar. Informasi seolah melimpah tanpa batas ruang dan waktu. Kini, siswa bisa belajar dari mana saja, kapan saja, bahkan tanpa harus bertatap muka secara langsung dengan guru.

Lalu, apakah ini membuat peran guru memudar? Justru sebaliknya. Dalam lautan informasi yang luas, siswa tetap membutuhkan pendamping yang mampu memfilter, memandu, dan mengarahkan proses belajar mereka. Peran guru semakin penting, karena tidak semua informasi yang tersedia relevan, benar, atau sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Guru menjadi navigator, mengajarkan literasi digital, berpikir kritis, dan etika dalam menggunakan teknologi.
Namun, bentuk dan pendekatan guru dalam mendidik kini harus berubah. Dari yang dulunya berpusat pada ceramah (teacher-centered), kini harus bergeser ke pendekatan pembelajaran aktif dan kolaboratif (student-centered). Guru bukan lagi sekadar penyampai materi, melainkan fasilitator yang menciptakan suasana belajar yang interaktif, menyenangkan, dan adaptif terhadap teknologi.

Tantangan pertama yang dihadapi guru adalah kecepatan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, berbagai alat dan platform digital pembelajaran terus bermunculan, mulai dari Google Classroom, Edmodo, Moodle, hingga platform lokal seperti Rumah Belajar dan SIPLah. Tidak semua guru, terutama yang lahir sebelum era 90-an, tumbuh dengan teknologi ini. Banyak dari mereka harus belajar dari nol: mulai dari cara membuat akun, mengelola kelas virtual, membagikan materi digital, sampai melakukan penilaian daring secara tepat.
Sebagian besar guru masih harus beradaptasi dengan perangkat digital seperti laptop, tablet, LCD proyektor, hingga penggunaan aplikasi seperti Canva untuk membuat media ajar yang menarik. Tantangan ini bukan hanya soal penguasaan teknis, tetapi juga tentang mengubah pola pikir (mindset) dari metode konvensional ke pembelajaran digital yang dinamis. Proses adaptasi ini tentu membutuhkan pelatihan berkelanjutan, dukungan dari sekolah, serta waktu dan energi tambahan di tengah padatnya tanggung jawab mengajar.

Tantangan kedua adalah perubahan karakter dan gaya belajar siswa. Siswa generasi saat ini, dikenal sebagai Generasi Z dan Alpha, tumbuh di tengah kemudahan teknologi dan informasi instan. Mereka lebih cepat bosan, cenderung multitasking, serta terbiasa dengan konten visual dan audio yang menarik. Materi pembelajaran yang hanya berbentuk teks atau ceramah lisan tidak lagi cukup efektif untuk menarik perhatian mereka.

Guru kini dituntut untuk menyajikan pembelajaran yang interaktif dan variatif, seperti menyisipkan video pembelajaran dari YouTube Edu, membuat kuis interaktif dengan Kahoot atau Quizizz, mengadakan diskusi melalui Google Meet atau Zoom breakout room, bahkan memanfaatkan Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) untuk praktik-praktik simulatif. Semua ini bertujuan agar siswa tetap antusias dan terlibat aktif dalam proses belajar.
Perubahan ini menuntut guru untuk tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memahami psikologi dan preferensi belajar siswa digital. Perencanaan pembelajaran pun harus lebih kreatif dan fleksibel agar tetap bermakna dan relevan.

Menurut data Kemendikbudristek tahun 2023, hanya sekitar 57% guru di Indonesia yang merasa percaya diri menggunakan teknologi digital dalam pembelajaran, sementara sisanya merasa belum cukup siap. Ini menunjukkan adanya kesenjangan kompetensi digital yang perlu segera diatasi.

Namun di balik tantangan, terbentang peluang besar. Guru bisa menjangkau siswa lebih luas, bahkan lintas daerah. Materi ajar bisa dikemas menarik melalui media digital. Pembelajaran bisa dipersonalisasi sesuai kebutuhan siswa. Digitalisasi juga membuka ruang kolaborasi antar guru, saling berbagi materi dan metode secara lebih mudah.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Kutipan ini kini menjadi semakin nyata di era digital, dimana pembelajaran tidak terbatas pada ruang kelas saja. Guru yang kreatif dan adaptif mampu membawa pendidikan ke mana saja, termasuk ke rumah-rumah melalui perangkat digital.

Guru yang mampu beradaptasi akan menjadi agen perubahan. Bukan sekadar pengajar, tetapi fasilitator, inspirator, sekaligus pembimbing dalam membangun karakter dan kompetensi siswa. Di era digital, guru bukan digantikan teknologi, tetapi justru didukung untuk menjadi lebih efektif.

Maka, menjadi guru di era digital adalah panggilan untuk terus belajar dan berkembang. Di tengah tantangan, ada peluang untuk tumbuh dan menciptakan pembelajaran yang relevan dan bermakna. Karena sejatinya, teknologi hanyalah alat, jiwa pendidikan tetap ada di tangan guru.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *