Penulis : Wiko |
Sidoarjo, pelitaprabu.com |
Sengketa lahan makam di Dusun Jumput Rejo Wetan, Desa Jumput Rejo, Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, kembali mencuat ke permukaan. Persoalan yang telah membara sejak 2013 itu memuncak dalam Musyawarah Desa (Musdes) pada Jumat (8/8/2025), dengan mayoritas warga dan empat dusun secara tegas menolak keberadaan makam milik Yayasan Kahuripan Nirwana.
Musdes dihadiri Kepala Desa Jumput Rejo Widarto, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh agama, tokoh masyarakat, perwakilan dari lima dusun — Beciro, Keling, Kedung, Jumput Kulon, dan Jumput Wetan — serta karang taruna.
Hadir pula Babinsa, Bhabinkamtibmas, perwakilan Yayasan Kahuripan Nirwana H. Andi beserta tim kuasa hukum, dan sejumlah warga Kahuripan Nirwana yang merupakan korban relokasi Lapindo.
Sejak awal, pertemuan berlangsung panas. Saling adu argumentasi antara pihak yayasan dan perwakilan warga menghiasi jalannya musyawarah. Kepala Desa Widarto menegaskan bahwa masalah ini sudah ada jauh sebelum dirinya menjabat. “Dulu sebagian masyarakat sudah menolak, namun sekarang kita buka ruang dialog agar semua pihak bisa menyampaikan pandangannya,” ujarnya.
Namun, ruang dialog itu tidak mampu meredam gelombang penolakan. Empat dusun — Beciro, Keling, Kedung, dan Jumput Kulon — kompak menolak. Hanya Dusun Jumput Rejo Wetan yang menerima keberadaan makam tersebut. Alasannya, bagi warga yang menolak, keberadaan makam dianggap tidak membawa manfaat bagi masyarakat, bahkan memunculkan masalah baru.
Penolakan warga didasari beragam alasan, mulai dari mitos setempat, kekhawatiran terganggunya warga oleh suara sirene ambulans, hingga kekhawatiran pencemaran air sungai. Warga juga menilai makam tidak diperlukan karena sudah tersedia fasilitas pemakaman umum di Praloyo. Selain itu, mereka menyoroti fakta bahwa perumahan di wilayah Jumput Rejo sejak awal tidak memiliki makam karena lahan pemakaman sudah diatur di tempat lain.
Pihak yayasan sebenarnya telah menawarkan kompensasi berupa lahan 1.000 meter persegi yang dapat digunakan warga asli maupun pendatang, serta uang senilai Rp200 juta. Namun tawaran itu tetap ditolak. “Mari kita lihat sisi kemanusiaan. Kami membuka ruang dialog, tapi jika sudah deadlock, kami akan melapor ke Bupati dan pejabat terkait. Izin kami lengkap, jelas, dan sesuai peruntukan untuk makam,” tegas H. Andi.
Meski pertemuan dijaga aparat dan berlangsung relatif kondusif, ketegangan tak terhindarkan. Bahkan, sebelum musyawarah ditutup, perwakilan Dusun Jumput Rejo Wetan memilih meninggalkan ruangan karena merasa jalan keluar sudah tertutup.
Keputusan akhir Musdes mencatat, empat dusun, BPD, tokoh agama, dan tokoh masyarakat sepakat menolak keberadaan lahan makam tersebut. Kisruh lahan makam ini kini memasuki babak baru, dengan potensi berlanjut ke ranah hukum dan campur tangan pemerintah daerah.
Persoalan ini menjadi cermin bahwa konflik agraria, meski skalanya lokal, bisa memicu perpecahan sosial di tingkat desa. Apalagi jika menyangkut tanah yang sarat makna budaya, kepercayaan, dan kepentingan ekonomi. Di Jumput Rejo, sengketa makam bukan sekadar soal izin atau kompensasi, tetapi tentang hak suara warga untuk menentukan masa depan ruang hidup mereka.***