Indeks
Berita  

Geger boborknya Dunia Pendidikan: Siswa SMKN Rembang Pasuruan Dilarang Ujian Gara-Gara Belum Bayar Sumbangan Komite Rp2,5 Juta

Penulis: Hasyim Asy’ari|

Pasuruan, pelitaprabu.com|

 

Dunia pendidikan kembali tercoreng. Sejumlah siswa di SMKN Rembang, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dikabarkan tidak diperkenankan mengikuti ujian karena belum melunasi sumbangan komite sebesar Rp2,5 juta. Kebijakan tersebut menuai kecaman publik dan menimbulkan pertanyaan besar: di mana letak keadilan ketika hak dasar siswa dalam mengakses pendidikan terganjal urusan uang?

Padahal, hak memperoleh pendidikan telah dijamin oleh UUD 1945 Pasal 31 yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Negara pun diwajibkan menjamin terselenggaranya pendidikan yang adil, merata, dan bebas diskriminasi.

Menurut keterangan orang tua siswa yang enggan disebutkan namanya, anaknya tidak diperbolehkan yang akan mengikuti ujian lantaran belum melunasi sumbangan komite yang disebut “sukarela tapi wajib”.

“Kami sudah berusaha mencicil, tapi karena kondisi ekonomi belum bisa lunas. Masa karena itu anak saya tidak boleh ikut ujian?” ujarnya dengan nada kecewa.

 

Sejumlah siswa pun mengaku mengalami tekanan psikologis akibat tidak menerima kartu ujian.

“Kami sudah jelaskan kondisi ekonomi keluarga, tapi tetap tidak boleh ikut ujian. Rasanya seperti dihukum karena miskin,” ujar salah satu siswa yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Bahkan, menurut kesaksian siswa lainnya, beberapa guru justru menyampaikan pernyataan yang bernada intimidatif. “Kalau belum bayar, bilang orang tuamu suruh datang ke sini! Biar kami yang urus!” ucap salah satu guru, sebagaimana ditirukan siswa tersebut.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 dengan jelas menyatakan bahwa sumbangan dari orang tua atau wali siswa bersifat sukarela, tidak mengikat, dan tidak boleh menjadi syarat dalam proses pembelajaran maupun evaluasi pendidikan, termasuk ujian.

Dengan demikian, menjadikan tunggakan sumbangan komite sebagai alasan melarang siswa mengikuti ujian merupakan tindakan yang tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan semangat pendidikan inklusif.

“Kami tidak menolak membayar. Tapi karena ekonomi belum memungkinkan, harusnya sekolah memberi solusi, bukan menghalangi anak kami ujian,” ujar salah satu wali murid lainnya.

Praktik semacam ini bukan hanya persoalan internal sekolah, melainkan juga bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas pendidikan. Warga pun mendesak Dinas Pendidikan Jawa Timur dan Ombudsman RI untuk segera turun tangan mengusut dugaan pelanggaran tersebut.

“Menahan siswa ikut ujian karena belum bayar sumbangan adalah pelanggaran prinsip pendidikan yang merata dan berkeadilan,” tegas seorang jurnalis lokal yang turut menyoroti kasus ini.

Hingga berita ini diturunkan, awak media mencoba klarifikasi ke pihak SMKN Rembang.

Namun, Kasus ini pun menambah daftar panjang dugaan penyimpangan dalam pengelolaan sumbangan komite di sekolah negeri,kejadian ini menambah daftar panjang dugaan penyalahgunaan kebijakan sumbangan komite di sekolah negeri, yang seharusnya mengedepankan prinsip inklusivitas dan hak pendidikan tanpa diskriminasi.

Pendidikan adalah jembatan menuju masa depan. Ketika akses terhadap pendidikan dibatasi oleh kemampuan finansial, maka jembatan itu telah diputus di tengah jalan. Anak-anak yang seharusnya punya hak yang sama untuk belajar justru terperosok dalam jurang ketimpangan.

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Jika tak segera dibenahi, bukan tidak mungkin pendidikan hanya akan menjadi hak eksklusif bagi mereka yang mampu.

Exit mobile version