Penulis: Benny Leonard |
Batam, pelitaprabu.com|
Dia hanya ingin bertahan hidup. Hanya itu. Tapi di balik dinding rumah mewah itu, Intan (21), gadis asal Sumba Barat, harus menelan ludah bercampur darah setiap kali majikannya mengangkat tangan. Setiap hari, dia berbisik pada diri sendiri, “Aku harus hidup. Aku harus pulang.”
Tapi pulang bagaimana, jika ponselnya dirampas, pintu dikunci, dan tubuhnya dipenuhi lebam?
Hingga suatu siang di pertengahan Juni 2025, tetangga yang mendengar rintihan meminjamkannya telepon. Itulah detik ketika jeritannya akhirnya sampai ke dunia luar.
“Dia Dipukul Pakai Obeng, Ditendang di Kemaluan”
Ketika keluarga Intan menerima telepon itu, suaranya nyaris tak dikenali. “Kak… tolong… aku mau mati…”
Kakaknya, Anggraini, menggigil saat menceritakan kembali. “Dia dipukul pakai obeng, disetrum dan ditendang di kepala sampai kemaluan. Majikannya memanggilnya ‘lonte’, ‘babi’, ‘anjing’.” Suaranya pecah. “Dia bilang, ‘Kak, aku nggak kuat lagi…’”
Ketika keluarga memaksa masuk ke rumah megah di kawasan Sukajadi, Batam, mereka menemukan Intan tergeletak di kamar, wajahnya biru, bibir pecah-pecah, dan matanya kosong. Seperti mayat yang masih bernafas.
Dokter di RS Elisabeth Batam mencatat luka bakar akibat setruman, patah tulang rusuk, perdarahan internal, dan trauma psikologis berat. “Dia bahkan tidak bisa menangis lagi,” kata seorang perawat, enggan disebutkan namanya.
Amukan Perempuan Diaspora NTT: “Ini Pembunuhan Perlahan!”
Kabar penyiksaan Intan menyebar seperti api di tengah rumput kering. Di grup-grup WhatsApp, Facebook, hingga TikTok, perempuan-perempuan asal NTT yang merantau mengumpulkan amarah.
Forum Perempuan Diaspora NTT (FPD NTT), organisasi yang selama ini menjadi penyambung lidah PRT asal Timur, meledak. “Ini bukan kekerasan. Ini pembunuhan perlahan!” teriak Sere Aba, Ketua FPD NTT, dalam konferensi pers di Jakarta.
Mereka menuntut:
1. Hukuman maksimal untuk Roslina, sang majikan yang kini sudah ditahan polisi.
2. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) harus segera disahkan setelah 19 tahun mati suri di DPR.
3. Pemulihan total untuk Intan, bukan hanya fisik, tapi juga mental.
“Intan bukan pembantu. Dia manusia. Dia perempuan. Dia saudari kami!”
Indonesia Tanpa Perlindungan Ketika 4 Juta PRT Hidup dalam Bayang Kekerasan
Intan bukan kasus pertama. Bukan pula yang terakhir.
Komnas Perempuan mencatat 45% kekerasan terhadap PRT tak pernah dilaporkan. Mereka terperangkap dalam silent genocide, pembunuhan sunyi di balik pintu-pintu rumah mewah.
“RUU PPRT sudah jadi mayat di laci DPR,” ujar Dr. Reni Susanti, pakar hukum pidana UI. “Tanpa itu, PRT tetap akan jadi budak modern. Keadilan adalah harga mati.”
Malam ini, di sebuah ruang rumah sakit, Intan masih berusaha bicara. “Saya… mau… pulang…”
Tapi pulang ke mana? Ke Sumba, di mana tanahnya gersang dan pekerjaan langka? Atau ke Batam, di mana majikan seperti Roslina mungkin masih menunggu?
Sere Aba menggenggam tangan Intan lewat telepon. “Kami akan berjuang sampai RUU ini disahkan. Kamu tidak sendirian.”
Di luar, hujan mulai turun. Seperti tangisan puluhan ribu PRT yang tak pernah didengar.