Penulis: Benny Leonard|
Flores Timur, pelitaprabu.com
18 Juni 2025 –
Raungan dahsyat Gunung Lewotobi Laki-Laki kembali merobek kesunyian dini hari, menyemburkan kolom abu vulkanik setinggi ribuan meter, dan menyelimuti sebagian besar Flores Timur dalam selimut kelabu pekat. Erupsi eksplosif ini bukan sekadar pengingat akan kekuatan alam yang tak tertandingi, namun juga memicu perdebatan sengit tentang intervensi manusia terhadap geodinamika bumi, khususnya wacana pengembangan geotermal di pulau Flores.
Kolom abu yang membumbung angkasa, diselingi lidah api pijar, menciptakan pemandangan surealis yang sekaligus memukau dan mengerikan. Aroma belerang menusuk tajam, berpadu dengan bisikan kecemasan yang menyelinap di antara angin pegunungan. Desa-desa di kaki Lewotobi kini diselimuti lapisan tipis abu, mengubah lanskap hijau menjadi palet monokromatik yang sunyi. Aktivitas warga terhenti, digantikan oleh upaya evakuasi dan mitigasi yang sigap dari pihak berwenang.
Erupsi kali ini, yang tergolong signifikan, tak pelak memantik kembali pertanyaan tentang ambisi proyek geotermal di daratan Flores. Bagi sebagian kalangan, letusan ini diinterpretasikan sebagai “protes alam” terhadap upaya eksploitasi energi dari perut bumi yang berpotensi mengganggu keseimbangan ekologis. Narasi ini diperkuat oleh keyakinan lokal yang menganggap gunung sebagai entitas sakral, penjaga keseimbangan alam yang tak boleh diganggu gugat. Sementara pihak pengembang dan pendukung proyek berargumen bahwa energi geotermal adalah alternatif bersih dan berkelanjutan, erupsi ini menjadi tamparan keras yang menuntut kajian ulang mendalam.
Dinamika Vulkanik Flores Timur: Dari Ile Ape hingga Lewotobi
Perlu dicatat, aktivitas vulkanik di Flores Timur tidak hanya terpusat pada Lewotobi. Sebelumnya, Gunung Ile Ape yang berlokasi di Pulau Lembata, tetangga dekat Flores Timur, juga menunjukkan aktivitas erupsi. Meski skalanya tidak sedahsyat letusan Lewotobi saat ini, erupsi Ile Ape berupa semburan abu tipis dan guguran material kecil telah menjadi pengingat berkelanjutan akan posisi wilayah ini di “Cincin Api Pasifik”.
Aktivitas dua gunung ini secara beruntun mengindikasikan adanya pergerakan signifikan di bawah permukaan bumi. Kondisi ini memperkuat argumen sebagian masyarakat yang mempertanyakan kelayakan proyek geotermal. Mereka berpendapat, jika gunung-gunung di sekitar wilayah tersebut menunjukkan peningkatan aktivitas, maka penggalian dan pengeboran untuk energi panas bumi dapat memicu reaksi yang tidak diinginkan dari alam, termasuk peningkatan frekuensi atau intensitas erupsi. Fenomena ini seolah menjadi “suara” alam yang menolak intervensi berlebihan.
Dampak Ekonomi : Antara Anomali Bencana dan Aspirasi Pembangunan
Erupsi Lewotobi tidak hanya mengancam keselamatan jiwa, namun juga menimbulkan dampak ekonomi yang substansial bagi masyarakat Flores Timur. Sektor pertanian, tulang punggung ekonomi lokal, kini lumpuh total. Hamparan lahan jagung, ubi, dan perkebunan kopi yang seharusnya segera panen, kini tertutup abu dan material vulkanik, memusnahkan harapan pendapatan ribuan petani. Kerugian ini akan terasa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun ke depan, mengingat waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan tanah dan tanam kembali.
Sektor pariwisata, yang mulai menggeliat dengan keindahan alam Flores Timur, juga terpukul telak. Akses ke destinasi wisata utama terganggu, dan citra daerah sebagai destinasi aman tergerus oleh volatilitas geologis. Pembatalan pemesanan hotel dan paket tur menjadi kerugian langsung yang dirasakan oleh pelaku usaha kecil dan menengah.
Di sisi lain, perdebatan mengenai proyek geotermal kini semakin memanas. Jika proyek ini terus berjalan, investasi besar akan masuk, membuka lapangan kerja, dan menjanjikan pasokan listrik yang stabil. Namun, bencana ini memperlihatkan risiko inheren yang harus dihadapi. Apakah pembangunan geotermal dapat berjalan harmonis dengan alam yang seolah “menolak”, ataukah potensi keuntungan ekonomi akan selalu diiringi risiko geologis yang tak terduga? Pertanyaan ini menjadi dilema krusial bagi pemerintah dan masyarakat setempat.
Pemerintah daerah bersama dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terus memantau dengan seksama pergerakan magma di perut bumi Lewotobi. Data seismik dan visual menjadi landasan bagi setiap keputusan krusial, memastikan keselamatan warga adalah prioritas utama. Posko pengungsian telah didirikan, logistik bantuan disiapkan, dan tim medis disiagakan untuk mengantisipasi segala kemungkinan.
Meskipun ancaman masih membayangi dan perdebatan terus berlanjut, semangat gotong royong dan ketahanan masyarakat Flores Timur patut diacungi jempol. Mereka memahami betul bahwa hidup berdampingan dengan gunung berapi adalah takdir, dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan saling bahu-membahu serta mematuhi setiap instruksi dari pihak berwenang. Lewotobi boleh saja bergolak, namun semangat perjuangan dan harapan akan selalu menyala di hati sanubari mereka, di tengah ketidakpastian antara intervensi manusia dan kemarahan alam.***